Perempuan = Kelompok Minoritas?

Minoritas bukan sekedar perkara menghitung kuantitas suatu kelompok, mereka yang berjumlah sedikit dikatakan minoritas. Minoritas, tidak sesederhana itu. Saat kita mencoba mendefinisikan minoritas, kehadiran diskriminasi menjadi indikator yang dapat mengidentifikasikan apakah kelompok tersebut merupakan kelompok minoritas atau bukan. Sehingga, dapat jelas mengapa perempuan yang konon katanya secara kuantitas tiga kali lipat lebih banyak daripada laki-laki di dunia ini justru digolongkan sebagai kelompok minoritas.

Dalam artikel Helen Mayer Hacker yang berjudul : Women as a Minority Group, dituliskan bahwa Louis Wirth — seorang ahli sosiologi Amerika, menemukan bahwa minoritas bukan sebuah konsep statistika atau hanya sekedar menunjukkan kelompok yang teralienasi. Kembali, minoritas tidak sesederhana itu. Definisi Wirth mengenai minoritas adalah sekelompok manusia yang dikarenakan wujud fisik dan karakteristik budayanya, terasingkan dari masyarakat di mana mereka tinggal dan menerima perlakuan berbeda serta tidak adil, dan untuk itu mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai sebuah objek diskriminasi.

Terkadang seseorang bahkan tidak sadarkan diri bahwa mereka termasuk ke dalam golongan minoritas, baik karena mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang didiskriminasi ataupun mereka justru mengakui kebenaran dari perlakuan berbeda yang diberikan kepada mereka dan menganggapnya sebagai suatu kewajaran. Jadi, minoritas bukan sesuatu yang absolut, tergantung dari sudut pandang mana kita memandang sebuah fenomena. Terkadang, justru atribut minoritas tersebut disematkan oleh peneliti yang bahkan objeknya tidak merasa bahwa diri mereka termasuk ke dalam golongan minoritas.

Perempuan, seringkali digolongkan menjadi kelompok minoritas oleh sebab mereka banyak mengalami perlakuan yang berbeda dengan kaum laki-laki. Perempuan dari sisi ekonomi dikatakan walaupun bisa berjaya, namun tidak akan pernah berada di posisi teratas karena mereka akan selalu bekerja dibawah pengawasan laki-laki. Begitupun di bidang pendidikan yang beberapa jurusan membatasi kursinya untuk kaum perempuan seperti di bidang arsitektur dan kesehatan (saya pribadi tidak tahu apakah pendapat yang disampaikan Hacker ini juga terjadi di Indonesia, mohon info jika teman-teman mengetahuinya ya!). Begitu pula dengan aspek yang lainnya.

Dalam artikelnya, Hacker mencoba membandingkan persamaan status kasta perempuan dengan kelompok negro yang keduanya ditengarai sebagai kelompok yang terdiskriminasikan. Baik negro dan perempuan dikatakan secara penampilan memiliki perbedaan, secara intelejensi juga lebih rendah, lebih emosional, lemah dan tidak berdaya, memiliki tempatnya sendiri, memiliki keterbatasan dalam hal pendidikan dan pekerjaan, politik dan sosial, dan juga tidak mudah dikritik atau sensitif.

Dalam kelompok perempuan itu sendiri, perempuan juga dibedakan kembali dengan perempuan lainnya yang secara status dan ekonomi mereka anggap lebih rendah dari mereka. Contohnya adalah dengan adanya status “ibu rumah tangga” dengan “wanita karir”. Saya rasa, diskriminasi terhadap kelompok perempuan ini memang nampak sangat jelas jika kita membicarakan soal role mereka di masyarakat. Hanya, kembali sudut pandang yang dapat menentukan yang manakah yang disebut minoritas — karena sadar atau tidak, laki-laki pun mendapatkan perlakuan yang berbeda dari perempuan! Gerakan feminisme itu sendiri yang sesungguhnya membuat perempuan mengetahui bahwa mereka adalah minoritas, untuk menuntut hak yang sama dengan laki-laki.

Artikel Hacker kelihatannya ditulis pada masa yang berbeda, sehingga tidak cukup mumpuni untuk merepresentasikan kondisi yang terjadi saat ini. Sekalipun perbedaan antara laki-laki dan perempuan khususnya di Indonesia memang masih terjadi, namun ada hal-hal yang semakin hari semakin bias nilainya. Hacker juga nampaknya membahas role perempuan dan laki-laki berdasarkan jenis kelamin semata dan menilainya secara mutlak. Sehingga, pertama-tama perlu dibedakan antara jenis kelamin dan gender untuk memahami fenomena di atas, karena ada keterkaitan antara perbedaan gender dengan ketidak adilan gender yang berdampak pada struktur sosial di masyarakat.

Pada dasarnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat dibedakan melalui konsep jenis kelamin dan gender. Jenis kelamin merupakan kriteria pembeda berdasarkan fisik alamiah (dilihat dari fungsi reproduksi), sedangkan gender merupakan kriteria pembeda berdasarkan fungsi sosio-kulturalnya. Gender memang berkaitan dengan jenis kelamin, namun tidak selalu berhubungan dengan perbedaan fisiologis. Ketika gender membagi atribut dan pekerjaan ke dalam kelompok “feminim” dan “maskulin”, korelasi antara feminim = perempuan dan maskulin = laki-laki bukanlah sebuah korelasi yang absolut.
Hubeis (2010:71) memaparkan bahwa memang ada perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki dalam ciri biologis yang primer dan sekunder. Ciri biologis primer bisa dikatakan sebagai ciri yang merupakan “bawaan dari sananya”, sesuatu yang tidak bisa diubah karena memang Sang Pencipta sudah memberikannya seperti itu — lain halnya jika kita memaksa melawan kodrat Ilahi :p. Sedangkan ciri sekunder merupakan sesuatu yang tidak mutlak, seperti misalnya suara halus dan rambut panjang bukan atribut khusus perempuan, tetapi laki-laki juga bisa memilikinya. 

Gender, merupakan sesuatu yang tidak mutlak dan universal dan cenderung bervariasi dari waktu ke waktu walau tidak dapat dipungkiri gender menjadi dasar pembagian kerja di semua masyarakat. Yang mesti diingat adalah gender tidak identik dengan jenis kelamin. Gender dapat beroperasi dalam jangka waktu cukup lama di masyarakat karena ada sistem kepercayaan gender yang mengatur definisi feminitas dan maskulinitas, termasuk pengstereotipean laki-laki dan perempuan. Bagaimana perempuan semestinya bersikap dan bagaimana pula seharusnya laki-laki.

Kebudayaan memiliki peran penting dalam melanggengkan sistem ini, dimana budaya mengatur persepsi mengenai citra yang “semestinya” dimiliki laki-laki dan perempuan. Walaupun gender tidak universal, rupanya memang dari penelitian Williams dan Best (dikutip dari Deaux&Kite dalam Susilastuti, 1993 : 31) dikatakan bahwa dari 30 negara yang menampilkan konsensus tentang atribut laki-laki dan perempuan mengungkapkan “generalitas pankultural” itu ada. Laki-laki dipandang sebagai makhluk yang lebih kuat dan aktif serta ditandai oleh kebutuhan besar akan pencapaian, dominasi, otonomi dan agresi. Sebaliknya perempuan dipandang sebagai lebihlemah dan kurang aktif, lebih menaruh perhatian pada afiliasi, keinginan untuk mengasuh dan mengalah. 

Dapat disimpulkan bahwa budaya turut andil dalam melanggengkan sistem patriarki dan menempatkan perempuan dalam posisi minoritas. Namun kita tidak dapat memandang dengan sebelah mata, karena pergeseran nilai maskulin dan feminim, sesuai dengan pandangan bahwa gender tidak mutlak, tidak universal dan cenderung bervariasi dari waktu ke waktu tersebut, semakin nampak jelas di zaman modern ini dimana “pantas” dan “tidak pantas” berkenaan masalah role oleh perempuan dan laki-laki semakin bias. Kini mulai banyak perempuan yang diakui hidup lebih mandiri dan berjaya dibanding laki-laki. Kini bahkan perempuan sudah bisa membentuk ekonominya sendiri! Sebut saja, Catherine Hindra Sutjahyo – CEO Zalora, Diajeng Lestari – Founder HijUp, bahkan Indonesia pernah dipimpin oleh presiden wanita Megawati Soekarno Putri, yang tidak bisa ditampik pengaruhnya dalam dunia politik dan pemerintahan hingga saat ini masih cukup besar. Bukan tidak mungkin, suatu saat peran perempuan dan laki-laki bisa saling bertukar, dan perempuan bukan lagi bagian dari kelompok minoritas.

Jadi, bagaimana? Apakah perempuan adalah termasuk ke dalam kelompok minoritas? 🙂

Referensi :

Hacker, Helen M. 1951. Women as a Minority Group.  ArticleinSocial Forces 30(1):60-69

https://www.academia.edu/7324971/KONSEP_SEX_DAN_GENDER

6 thoughts on “Perempuan = Kelompok Minoritas?”

  1. Gaya penulisannya bagus dan enak dibaca, Pandangan penulis juga terlihat dalam tulisan ini.

    Sedikit masukan alangkah baiknya dimasukan juga sumber literature study dari sumber lain mengenai gender role, yang dapat memperkuat opini penulis terhadap artikel Hacker ini..

    😁

    Like

  2. jika pertanyaannya adalah apakah perempuan adalah termasuk ke dalam kelompok minoritas di Indonesia jawabannya menurut ku adalah tentu. karena hanya segelintir perempuan saja yang sudah bisa disebut “berdaya” seperti yg disebutkan diatas seperti: Catherine Hindra Sutjahyo – CEO Zalora, Diajeng Lestari – Founder HijUp, dan presiden wanita Megawati Soekarno Putri.

    Sedangkan nyatanya di lapangan perempuan indonesia masih terlilit berbagai permasalahan seperti menjadi korban KDRT, penjualan perempuan dan lain sebagainya. Bahkan menurut Irma Alamsyah Djaya Putra, di dalam diskusi film dokumenter Noem Mji Maar Kartini, bahkan di parlemen, perempuan masih menjadi kaum minoritas, yakni baru sebanyak 16 persen anggota DPR dari kaum perempuan dan sisanya diisi kaum laki-laki. Argumen serupa juga dinyatakan oleh Yuda Iriang selaku ketua Yayasan Gerakan Pemberdayaan Perempuan yang mengatakan bahwasannya 70 persen penduduk miskin di Indonesia adalah bertempat tinggal di pedesaan dan mayoritas dari kaum miskin itu adalah perempuan.

    sumber:

    nasional.kompas.com/read/2009/04/18/16553621/perempuan.masih.terjajah

    Like

  3. Secara makro menurutku memang perempuan masih menjadi kelompok yang minoritas,meskipun dalam arena-arena dan kondisi tertentu,perempuan pun bisa mendapatkan keutuhannya sebagai manusia yang memiliki kuasa atas dirinya. Misalnya yang kemarin kita diskusikan di kelas itu loh,di pasar,perempuan justru menjadi kaum mayoritas di sana. Contoh lainnya misalnya untuk perempuan kepala keluarga yang secara utuh menjalankan peran-peran gandanya dalam institusi keluarga.

    Namun untuk cakupan yang lebih luas,agaknya betul yang disampaikan zaza,perempuan masih menjadi minoritas

    Yang menurutku ga kalah menarik,mengkaji sistem matrilineal,misalnya pada suku minang,yang berada di tengah kuatnya budaya patriarki. Ternyata menurut jurnal yang kutemui (bisa dibaca di : http://ijoh.org/index.php/jas/article/view/11/11) perempuan ternyata masih tak berdaya melawan dominasi patriarki yang begitu kuat,meskipun berada dalam lingkungan yang menganut sistem matrilineal.

    Like

  4. Halo Keni! Ikutan komen yah! Reviewnya keren banget dan mudah untuk dimengerti.

    Memang dalam konteks masa kini, sudah banyak gerakan-gerakan feminis yang menuntut kesetaraan gender. Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa ternyata perempuan menikmati previlage mereka sebagai kelompok yang dikategorikan ‘lemah’. Hal ini menurut saya merupakan contoh dari kesadaran palsu yang dapat berperan untuk melanggengkan status perempuan sebagai makhluk yang ‘lemah’ tersebut.

    Like

  5. Selama masih ada pandangan dalam masyarakat bahwa perempuan tidak usah bekerja mencari penghasilan, karena nanti yang menafkahi adalah suaminya, maka disitulah letak terjadinya diskriminasi, dan perempuan akhirnya menjadi minoritas.
    Selama masih ada pandangan dalam masyarakat bahwa perempuan tidak perlu sekolah setinggi-tingginya, sementara laki-laki boleh sekolah setinggi-tingginya, maka disitulah letak terjadinya diskriminasi, dan perempuan akhirnya menjadi minoritas.
    Selama masih ada pandangan dalam masyarakat bahwa urusan rumah tangga itu (mencuci, menyapu,memasak, mengasuh anak dan lain sebagainya) hanya tugas dan tanggungjawab perempuan semata, maka disitulah letak terjadinya diskriminasi, dan perempuan akhirnya menjadi minoritas.
    Selama masih ada pandangan dalam masyarakat yang selalu menyudutkan perempuan korban kekerasan berbasis jender (misal: menyalahkan korban KdRT, karena dianggap tidak bisa melayani suami dengan baik), maka disitulah letak terjadinya diskriminasi, dan perempuan akhirnya menjadi minoritas.
    Selama masih ada pandangan dan pendidikan dalam masyarakat untuk anak kecil, bahwa laki-laki itu tidak boleh cengeng (berarti yang boleh cengeng itu perempuan), maka disitulah letak terjadinya diskriminasi, dan perempuan akhirnya menjadi minoritas.
    Selama masih ada pandangan dalam masyarakat bahwa perempuan itu tidak boleh/tidak pantas bekerja sebagai satpam, sopir, tukang ojek, tukang parkir; maka disitulah letak terjadinya diskriminasi, dan perempuan akhirnya menjadi minoritas.
    Selama masih ada pandangan dalam suatu organisasi/tempat bekerja bahwa upah/honor pekerja perempuan itu harus lebih kecil daripada upah/honor pekerja laki-laki, maka disitulah letak terjadinya diskriminasi, dan perempuan akhirnya menjadi minoritas.
    dan seterusnya … … …
    konklusinya, masyarakat kita butuh segera literasi!
    #041, #SIK041

    Like

Leave a comment