Theory of Sexual Politics

Theory of sexual politics adalah chapter kedua pada buku Sexual Politics (1969) yang ditulis oleh Kate Millett, seorang penulis feminis Amerika. Politik yang ia maksudkan dalam buku ini bukanlah pengertian politik konvensional dalam artian sempit seperti yang selama ini kita ketahui, berkenaan dengan kedudukan di pemerintahan, partai dan rapat-rapat kenegaraan. Politik yang dimaksud dalam buku ini adalah sesuatu yang berkenaan dengan struktur kekuasaan dimana kelompok yang satu dikontrol oleh kelompok lainnya, dimana jenis kelamin atau seks merupakan sebuah kategori status sebagai bukti implikasi dari politik, yang tentu saja pada akhirnya tidak lepas dari apa yang kita kenal dengan sebutan sistem patriarki.

Dalam bukunya ini, Millett mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan sexual politics atau patriarki tersebut melalui 8 paradigma, yaitu secara ideologis, biologis, sosiologis, sistem kelas, ekonomi dan pendidikan, force, anthropologis dan psikologis.

Ideologis

“…based on the needs and values of the dominant group and dictated by what its members cherish in themselves and find convenient in subordinates: aggression, intelligence, force and efficacy in the male; passivity, ignorance, docility, “virtue” and ineffectuality in the female.” (p.26)

Pemerintahan dibentuk berdasarkan kesepakatan, atau paksaan. Sistem patriarki menggunakan efek dari kedua hal tersebut. Kesepakatan tersebut dapat dicapai melalui apa yang disebut dengan “sosialisasi” kepada perempuan dan laki-laki berdasarkan temperamentrole dan status.

Temperament menunjukkan sosialisasi manusia dalam penstereotipean kategori jenis kelamin : maskulinitas dan feminitas dimana keduanya mendukung dominasi kaum laki-laki.

Role menunjukkan peran dari laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin, seperti yang diungkapkan dalam bukunya sebagai berikut : “… in terms of activity, sex role assigns domestic service and attendance upon infants to the female, the rest of human achievement, interest and ambition to the male. The limited role allotted the female tends to arrest her at the level of biological experience. Therefore, nearly all that can be described as distinctly human rather than animal in activity is largely reserved for the male.” (p.26)

Status mengikuti apa yang telah tergambar di atas, dimana perempuan diberikan status yang rendah.

Biologis

Pria memang dianugerahi tubuh yang lebih kuat dan berotot dibanding perempuan. Jika di alam liar, keuntungan ini digunakan untuk menentukan kekuasaan. Tetapi, dalam sistem hidup manusia hal ini bukanlah sesuatu yang dapat memengaruhi “politik” tadi. Dalam hal ini kembali perlu dibedakan antara “jenis kelamin” dan “gender” (dijelaskan di post sebelumnya).

Peran orang tua, peer dan budaya berperan besar dalam pembentukan gender (maskulinitas dan feminitas)  dimana maskulinitas dekat kepada kondisi agresivitas sedangkan feminitas cenderung pasif. Doktrin terhadap seseorang mengenai ke-maskulin-an dan ke-feminim-an yang mereka alami sudah dirasakan sejak kecil, seperti pujian-pujian “cantik, lucu” dan “anak jagoan”, yang merujuk pada psychosexual. Sehingga, perbedaan inilah yang semakin memperkuat sistem patriarki tersebut.

Sosiologis

Sistem patriarki punya tiga institusi yang menaunginya : keluarga, masyarakat dan negara, dengan keluarga sebagai institusi utamanya. Baik masyarakat dan negara mendukung sistem keluarga besar, dimana negara yang agamis dan sekuler sudah menetapkan ayah sebagai kepala keluarga dan status perempuan dalam perkawinan dinyatakan sebagai berikut : “Traditionally, patriarchies granted the father nearly total ownership of wives and children, including the powers of physical abuse and often even those of murder and sale.”(p33) 

Perempuan dan anak-anak juga dinyatakan bergantung kepada laki-laki dan tidak memiliki banyak harta, lain halnya dengan laki-laki yang independen serta memiliki banyak harta.

Sistem Kelas

Menurut sistem kelas ini, di dalam struktur masyarakat dimana status bergantung pada tingkat sosial, ekonomi dan pendidikan, perempuan dapat berstatus lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki — selama perempuan memiliki modal. Namun ini sesungguhnya hanya ilusi, karena dalam sistem patriarki puncak tertinggi tetap adalah laki-laki.

Dalam konteks percintaan misalnya, jika seorang laki-laki mencintai perempuan dalam kasta yang lebih rendah, maka hal itu dapat dimaafkan dan laki-laki akan mensupremasi dirinya menjadi setingkat dengan perempuan tersebut, sehingga status perempuan yang tinggi tersebutpun tidak lepas dari peran laki-laki. Walaupun begitu, dari sistem kelas inipun status perempuan bisa tinggi dengan mengadopsi atribut maskulin — agresivitas; untuk mencapai kekuasaan tersebut dengan memanfaatkan modal-modal tersebut di atas.

Ekonomi dan Pendidikan

If knowledge is power, power is also knowledge, and a large factor in their subordinate position is the fairly systematic ignorance patriarchy imposes upon women. (p.42)

Keterbatasan perempuan dalam mengenyam pendidikan, termasuk melakukan pekerjaan yang sifatnya hi-tech dan berpengaruh besar dalam kehidupan manusia menunjukkan betapa kuatnya sistem patriarki yang berlaku untuk mengukuhkan kekuatan laki-laki.

Perempuan bukannya dilarang untuk bekerja, tetapi pembagian-pembagian arena dimana arena kerja laki-laki biasanya yang bersifat membangun dan memberi pengaruh serta perubahan dalam masyarakat sedangkan perempuan lebih mengarah kepada pekerjaan yang berkaitan dengan kemanusiaan — menunjukkan dimana posisi perempuan sebenarnya, yaitu berada di garda belakang atau supporter. Dari sisi pendapatan pun, di Amerika pendapatan laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.

Force

Sistem legal sesungguhnya menjunjung kesetaraan, namun kenyataannya hukum banyak mengadopsi ketentuan sistem patriarki yang cenderung memberatkan kaum perempuan, dan bersifat tidak adil bagi kaum perempuan. Misalnya, disebutkan di Tokugawa, Jepang, jika seorang istri dari kasta atas berselingkuh dari laki-laki kasta bawah, maka keduanya akan dipenggal tetapi tidak berlaku jika sebaliknya.

Kemudian, sistem aborsi yang tidak dilindungi oleh hukum dan stigma negatif terhadap perempuan yang diperkosa dianggap mengindahkan perasaan perempuan sebagai korban dan keengganan mereka untuk speak up perihal pemerkosaan tersebut.

Antropologis

Mitos dan agama sangat menggambarkan sistem patriarki ini dengan paling jelas menurut saya, terlihat dari pemakaian kata “Him” untuk merepresentasikan Tuhan, dan nabi serta rasul yang kesemuanya adalah laki-laki. Dewa tertinggipun digambarkan sebagai laki-laki, serta mitos-mitos terdahulu yang sifatnya mendiskreditkan perempuan, dan perempuan digambarkan sebagai sumber malapetaka.

Psikologis

A witty experiment by Phillip Goldberg proves what everyone knows, that having internalized the disesteem in which they are held, women despise both themselves and each other. This simple test consisted of asking women undergraduates to respond to the scholarship in an essay signed alternatively by one John McKay and one Joan McKay. In making their assessments the students generally agreed that John was a remarkable thinker, Joan an unimpressive mind. Yet the articles were identical: the reaction was dependent on the sex of the supposed author. (p.55)

Sebuah tesis yang sama dan ditulis oleh John McKay yang berpura-pura ditulis oleh John dan Joan — laki-laki dan perempuan, dicobakan untuk dipelajari oleh mahasiswa dan hasilnya mengejutkan dimana secara psikologis mereka menstigmakan karya perempuan tidak lebih baik dibanding karya laki-laki, dan laki-laki sudah pasti lebih cerdas. Perempuan masih dianggap rendah, dan jika perempuan ingin sukses maka dia harus mampu mendekati laki-laki yang secara status lebih tinggi secara seksual (fenomena ini terjadi di ibukota Jakarta. Coba saja perhatikan ketika jam makan siang di daerah Sudirman/Senayan, laki-laki dengan posisi staff dan sejenisnya cenderung lebih banyak makan siang di kantor dan kantin, sedangkan perempuan mengikuti bosnya pergi makan di tempat bergengsi dengan mobil mewahnya.) Well, tidak semua perempuan bersikap seperti itu, namun secara psikologis masyarakat sudah menganggap hal seperti itu adalah hal yang lumrah terjadi.

 

Sumber :

Millett, Kate. Sexual Politics (1969) Granada Publishing. The Second Chapter.

https://radicalhubarchives.wordpress.com/2012/01/17/sexual-politics-part-ii/

 

 

 

 

7 thoughts on “Theory of Sexual Politics”

  1. Penjelasannya yang menarik Ken.. feminis radikal yang merupakan gerakan sayap kiri baru ini menarik untuk memberikan gambaran bagaimana pandangan sayap kiri baru. Menarik lagi ketika kita membaca secara lengkap kajian Millett tergambar bagaimana struktur relasi, atau pengorganisasian yang sarat dengan kekuasaan, di mana satu kelompok atau individu-individu dikendalikan oleh kelompok atau individu-individu lainnya. Bagaimana tekanan terhadap perempuan tidak saja bersifat ekonomi, tekanan ekonomi hanyalah sebagian dari tekanan yang dialami perempuan. Patriarkat dalam pandangan Millett merupakan sistem yang independen dari moda produksi kapitalis. Sayangnya perspektif Millett memandang patriarchy secara universal, tidak melihal lokalitas seperti misalnya di Padang yang menganut matrilinealisme.

    Like

  2. Hal yang pertama kali terlintas, betapa ‘pengepungan’ terhadap perempuan itu memang terjadi dalam berbagai lini ya. Sehingga untuk melepaskan diri dari hal tersebut pun juga bukan suatu hal mudah, karena sudah merupakan pola pikir yang melekat, diturunkan, juga dilembagakan.

    Kemudian pada bagian forces ken, khususnya tentang aborsi, yang dimaksud di situ dalam konteks di Indonesia atau seperti apa ya ken? karena setauku kalo di Indonesia sudah dilindungi oleh hukum, termasuk untuk orang yang diperkosa. (lihat : http://health.kompas.com/read/2016/02/26/161500423/Begini.Aturan.Aborsi.di.Indonesia ) Hanya saja memang kalau stigma negatif terhadap perempuan yang diperkosa tidak bisa dipungkiri, masih ada.

    Like

    1. Wah terima kasih mba Hani informasinya, tadinya saya pikir aturan aborsi hanya untuk masalah kesehatan tidak termasuk korban perkosaan.. maafkan saya kurang membaca peraturan lengkapnya 😣 terima kasih yaaa

      Like

  3. Tulisannya menarik ken, membedah sistem patriarki berdasarkan 8 paradigma. Hebatnya, sistem patriarki ini dianggap lumrah oleh masyarakat karena memang ditanamkan di mana-mana, baik melalui pendidikan, keluarga, bahkan agama. Kalau gak ada tulisan-tulisan kritis begini, pasti saya sendiri juga udah nerima kalau laki-laki emang ditakdirkan ‘lebih’ dibandingkan perempuan.
    Kira-kira di masa depan nanti mungkin gak ya sistem patriarki ini bisa hilang? Apakah bisa terjadi sebaliknya, bahwa perempuan suatu saat bisa menjadi ‘lebih’ dibandingkan laki-laki? Menurut Keni gimana, apakah mungkin terjadi? Kalau iya, kira-kira bagaimana ya melawan sistem patriarki ini?

    Like

  4. Wow, Kate Millet ternyata menjabarkan pemikiran feminisnya dengan rapi ya. Maksudnya dia sampe buat 8 paradigma gitu.
    Tapi sebagai masukan ya kania, kamu juga bisa berikan pandangan dari sisi mu sendiri untuk tulisan diatas

    Like

  5. Review-nya Mbak Keni yang berjudul ‘Theory of Sexual Politics’ ini lebih banyak mengupas mengenai apa itu patriarki, faktor-faktor yang menyebabkan patriarki dan contohnya, serta juga lebih banyak mengupas delapan sudut pandang dalam memahami patriarki. Sayangnya, review ini tidak memberikan solusi konkret terkait bagaimana caranya sistem patriarki itu setidaknya bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan dari muka bumi. Hal ini menurut Saya menjadi hal yang penting, sebab Pembaca membutuhkan solusi atas permasalahan patriarki yang mungkin akan atau sedang dialaminya. Bagaimana, mbak? Solusi apa yang bisa mbak tawarkan dalam menyikapi fenomena sexual politics ini?, terimakasih.
    #041, #SIK041

    Like

Leave a comment