Masyarakat Multikultural dan Pendidikan di Indonesia

 

Presentation1

Soal UTS SD kelas I Tahun Ajaran 2015/2016 (source)

Cobalah perhatikan potret dari soal UTS kelas I SD yang tertaut di atas. Ada beberapa butir soal yang menggelitik hati saya. Pertama, adalah soal nomor 5 dengan bunyi sebagai berikut : Orang yang mencari nafkah untuk keluarga adalah… dan batasan pilihan berupa ayah, ibu dan kakak. Soal kedua yang juga menggelitik adalah soal nomor 8 dengan bunyi : Reni dan Eva bermain… dan batasan pilihan berupa bola, boneka, dan layang-layang. Soal ini adalah soal pilihan ganda, yang artinya satu soal hanya memiliki sebuah jawaban yang tepat. Saya hampir yakin 100% jawaban untuk soal nomor 5 adalah Ayah, dan nomor 8 adalah boneka. Mengapa? Saya juga pernah SD (lol). Well, setidaknya di zaman saya, itulah jawaban yang semestinya dipilih oleh saya dan teman-teman saya kalau tidak mau mendapat nilai jelek.

Namun, yang menjadi concern saya — dan jelas sekali tidak pernah terpikirkan oleh saya ketika saya masih SD, adalah bagaimana jika di rumah seorang anak bukan ayah yang mencari nafkah? Bagaimana jika (maaf) kedua orang tuanya sudah meninggal dunia, sehingga kakaknya yang mencari nafkah untuknya? Bagaimana jika ia tinggal bersama ibunya sebagai seorang single parent? Atau untuk soal lainnya adalah bagaimana jika Reni dan Eva sukanya main layang-layang atau main bola, karena mereka tomboy — atau bahkan tidak mampu membeli sebuah boneka? Apakah perempuan selalu harus bermain boneka dan tidak boleh bermain bola?

Saya rasa, inilah yang dinamakan oleh stereotipe. Sesuai dengan definisi Stuart Hall, stereotipe merupakan representasi yang diyakini mewakili kelompok tertentu terlepas dari benar atau tidaknya. Stereotipe ditanamkan melalui ideologi-ideologi yang dibangun oleh institusi-institusi dan sifatnya terasa sangat alami, memasuki alam bawah sadar manusia secara halus dan cerdik, sangat cerdik. Stereotipe bahwa laki-laki tugasnya mencari nafkah dan perempuan bermain boneka. Contoh kalimat super standar yang diajarkan ketika kita masih SD, bahkan mungkin TK, yang saya pastikan teman-teman semua masih ingat betul adalah : Ayah pergi ke kantor, dan Ibu pergi ke pasar — seolah-olah menegaskan bahwa dunia ayah adalah semua yang berkaitan dengan kegiatan mencari nafkah, sedang ibu lebih ke ranah domestik : pasar dan dapur. Satu lagi saja, contoh kalimat yang sering saya dengar tapi belum pernah saya temukan versi lainnya : Ayah membaca koran. Ayah membaca koran. Sekali lagi deh, AYAH MEMBACA KORAN. Apa ini berarti ibu tidak boleh membaca koran, ya?

Stereotipe yang terbentuk ini rupanya merupakan hasil dari representasi kelompok tertentu, disusupkan dalam institusi pendidikan dan memengaruhi pola pikir masyarakat sejak masih kecil. Sebelumnya, apa sih representasi itu? Menurut Hall (1997), representasi adalah proses dimana makna dihasilkan, dan dengan menggunakan bahasa, tanda dan gambar yang menunjukkan/merepresentasikan sesuatu itu maka makna tersebut dapat dipertukarkan antar budaya. Dalam konteks ini, institusi pendidikan berperan sebagai media yang menggambarkan sebuah kelompok, komunitas, pengalaman, gagasan atau topik melalui perspektif sebuah ideologi atau nilai tertentu. Dalam artikel yang ditulis oleh Gregory S.Jay yang berjudul Knowledge, Power and the Struggle for Representation juga dituliskan bahwa representasi merupakan complex set dari praktik kultural berupa : (1) tekstual maupun pengetahuan; (2) Kapital (material) dan kekuasaan.

Representasi tentu merupakan permainan bahasa, didasari dari pengalaman dan interpretasi seseorang terhadap sebuah hal atau benda. Bahasa digunakan untuk mengomunikasikan hasil representasi tersebut untuk dipertukarkan, sehingga mencapai sebuah kesepakatan akan representasi mengenai suatu hal. Sesungguhnya, tidak sembarang orang bisa memberikan representasi hasil interpretasi pribadinya dan diterima oleh orang lain. Tapi perlu dicatat, bahwa tidak memerlukan naungan institusi besar untuk membuat representasi tersebut. Karena, seseorang yang dianggap berpengaruh, berkuasa, atau dipercayai oleh orang lainpun dapat dijadikan acuan dalam merepresentasikan sesuatu. Contoh “satuan” terkecil dalam hidup kita namun sungguh besar pengaruhnya dalam mengarahkan pola pikir kita (atau tepatnya saya, dan mungkin berbeda bagi teman-teman ya!), adalah Ibu. Walaupun, tentu Ibu mendapatkan influence juga dari mana-mana, termasuk institusi besar seperti sekolah, tapi saya ketika kecil itu memercayai Ibu, bukan sekolah Ibu. Sehingga, representasi bisa dibentuk berdasarkan apa yang merupakan pengetahuan umum dan terbukti secara empiris atau memiliki data tekstual, atau dibentuk berdasarkan kekuasaan atau sistem kapitalisme.

Jika dalam artikel S.Jay dikemukakan praktik-praktik representasi dari institusi pendidikan yang menyinggung perbedaan suku, ras, warna kulit dan lain-lain yang sifatnya meminoritaskan kelompok yang lain, menurut saya yang terjadi di Indonesia sedikit berbeda. Indonesia merupakan negara yang kaya budaya, dan masyarakat sudah terbiasa hidup secara heterogen dan multikultural sehingga institusi pendidikan– sejauh pengamatan saya dan saya akan sangat senang jika ada koreksi– tidak pernah meminoritaskan kelompok lain secara suku, ras dan warna kulit. Tetapi, yang perlu diperhatikan menurut saya adalah “diskriminasi” yang terjadi dalam institusi pendidikan dalam ranah gender dan agama. Diskriminasi gender sendiri sudah saya sebutkan di awal tulisan ini barusan, perihal soal bahasa Indonesia kelas I SD barusan. Sedangkan untuk ranah agama, munculnya konflik di tanah air berkenaan dengan isu keagamaan, khususnya yang terjadi akhir-akhir ini tidak terlepas dari keterlibatan umat Islam sebagai kelompok dominan di masyarakat, dan merupakan indikasi lemahnya literasi yang diberikan oleh institusi pendidikan terhadap masyarakat beragama, khususnya pula umat Islam mengenai keberagaman, yang mampu meredam ekslusivisme dan menyalakan semangat penerimaan perbedaan di Indonesia.

Sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang diuraikan dalam Undang-Undang Sidiknas perihal penyelenggaraan pendidikan yang sifatnya demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keragaman, kebudayaan dan kemajemukan bangsa, maka pendidikan multikulturalisme ditengarai perlu untuk diterapkan di Indonesia dimana pendidikan multikultural didefinisikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Andersen dan Cusher(1994) dalam Mahfud (2008).Sedangkan Hernandez mengemukakan bahwa pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas sosial, politik dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Sedangkan menurut Sleeter  dan Grant (2007,2009) dan Smith (2011) dalam Zamroni (2011) bahwa pendidikan multikultural digunakan sebagai pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara holistik memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan-kelemahan, kegagalan-kegagalan dan diskriminasi yang terjadi di dunia pendidikan.

Pendidikan multikultural diharapkan dapat membantu mengatasi konflik-konflik masyarakat yang berkenaan dengan isu SARA, khususnya di Indonesia yang sering terjadi adalah gesekan isu agama tersebut, dan tentu saja peran gender serta memberi pemahaman mengenai hal-hal tersebut. Banyak yang mengatakan bahwa pendidikan dipolitisasi, dan kalimat ini memberikan nuansa negatif terhadap sistem pendidikan Indonesia. Namun, perlu dipahami bahwa institusi pendidikanpun membentuk dua kubu : pertama adalah kubu yang menerima ideologi dan stereotipe hasil representasi kelompok tertentu sebagai bagian dari kehidupan sosial mereka yang cenderung positivis, sedangkan kubu kedua adalah kubu kritis yang resisten atau mencoba menyingkap ketidak adilan yang muncul akibat ideologi dan stereotipe hasil representasi tersebut — dan keduanya berasal dari institusi yang sama. Bagi saya tidak ada yang salah dari keduanya. Yang salah adalah ketika kita sebagai manusia memperlakukan kelompok yang lain dengan cara yang tidak baik (entah itu kekerasan fisik maupun mental, menstigmakan mereka secara negatif, mengeksklusi mereka dari kehidupan sosial dan mengenyampingkan hak-hak yang mereka miliki), dan tidak mencoba untuk memahami dan menerima perbedaan juga peran masing-masing serta hidup dengan damai bersama-sama.

Referensi :

Al Arifin, Akhmad H. 2012. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksis Pendidikan di Indonesia (dalam Jurnal Pembangunan Pendidikan : Fondasi dan Aplikasi). Vol 1:1 (73-82).

Hakiemah, Ainun. 2007. Thesis : Nilai-nilai dan Konsep Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam. UIN Sunan Kalijaga : Yogyakarta.

Jay, Gregory S. 1994. Knowledge, Power and the Struggle for Representation (dalam Jurnal College English). Vol.56:1 (9-29)

7 thoughts on “Masyarakat Multikultural dan Pendidikan di Indonesia”

  1. Haha..saya juga pernah SD.. dulu soal Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa di STTB saya dapat 10 dan tidak ada pertanyaan aneh-aneh semacam itu. Hanya soal kepemimpinan dan perjuangan melawan penjajahan. Tidak ada soal bermain apa anak perempuan. Saya sewaktu SD suka banget bermain dengan ular, maklum belakang SD adalah sawah dan helikopter karena dekat dengan bandara. Suka curi-curi manjat masuk ke helikopter tua yang diam ditempat. Bisa dapat jelek ya nilainya kalau model pertanyaannya begitu. Makasih Ken, sudah mengiring kesadaran, rupanya jaman sekarang lebih ketat menanamkan stereotipe tentang perempuan ya. Mengapa? Apakah ada ketakutan pada munculnya LGBT?

    Menarik ya artikel S.Jay dikemukakan praktik-praktik representasi dari institusi pendidikan yang menyinggung perbedaan suku, ras, warna kulit dan lain-lain yang sifatnya meminoritaskan kelompok yang lain. Merasa beruntung karena dulu ortu (mami khususnya) justru menerapkan pendidikan yang berbeda. Saya tinggal di lingkungan etnis Tionghoa dan memiliki saudara sepersusuan laki-laki dan perempuan Tionghoa. Tak hanya itu, Mami suka sekali mengajak “blusukan” ke daerah terkumuh di Kota Semarang. Mami memberikan penjelasan misalnya kalau mereka (kuli dll) suka bicara kasar bukan berarti orang jahat tapi memang kehidupan mereka keras. Dari pemikiran S.Jay tampaknya kita perlu merenungkan model pendidikan kita ya. tulisan yang menarik Ken!

    Like

  2. Pembahasan mbak Kenny mengingatkan aku pada masa kecil mbak, dimana anak Homeschooling dianggap yang tertinggal, anak bodoh jadi butuh perhatian khusus, dan ketika masuk ke sekolah formal pada umumnya, mirisnya justru dianggap anak aneh, gak bisa bergaul, atau mengikuti pelajaran di sekolah umumnya.
    Pendidikan secara tidak sadar membuat kita memiliki representasi, bahkan stereotipe yang akhirnya kita anggap lumrah.
    dan aku setuju bahwa pendidikan multikultural diharapkan dapat membantu mengatasi konflik-konflik masyarakat yang berkenaan dengan isu SARA, khususnya di Indonesia. hanya saja kembali lagi bagaimana representasi budaya dalam masyarakat terbentuk agar tidak ada stereotipe yang akhirnya merugikan kelompok minoritas.
    Makasih sharingnya mbak Ken….

    Like

  3. Jadi teringat pernah melihat sebuah quotes menarik : “tell me about your school, then i will tell you about your country”. Kalau ga salah seperti itu ken, entah lupa dalam pembahasan Bourdieu tentang sekolah sebagai reproduksi kesenjangan sosial atau dari mana. Tapi memang apa yang diajarkan sekolah itu pastilah sangat berpengaruh terhadap pola pikir kita ya, terutama dalam fase anak-anak, dimana rasa kepercayaan kita begitu tinggi akan institusi sekolah. Semua yang diajarkan menjadi hal yang juga kita percayai ketika itu. Tentu akan sangat bermanfaat jika kemudian masa tersebut menjadi sarana penanaman pengetahuan mengenai multikulturalisme seperti di atas ya. Terlebih sebetulnya kita pun sudah memiliki prinsip bhineka tunggal ika yang ‘tinggal’ diaplikasikan ‘saja’ ke dalam tataran praktis. Hanya tentu lagi-lagi tak boleh diserahkan begitu saja pada institusi pendidikan ya, institusi keluarga sebagai wadah sosialisasi utama pun juga harus terwarnai dengan nilai-nilai multikulturalisme. Sehingga semua berjalan seiringan, tidak terbentur antara satu tempat dengan tempat lain (di sekolah sudah oke, eh ternyata di rumah masih rasis–misalnya)..
    NIce share ken!

    Like

  4. Bahasan yang menarik, Ken. Saya rasa pendidikan multikultural ini memang penting untuk diterapkan, karena melalui sekolah jugalah kita mendapatkan stereotip, contohnya seperti soal ujian SD yang Keni contohkan. Apalagi dalam konteks pendidikan Sekolah Dasar, apa yang diberikan di sekolah akan diterima begitu saja dan bisa menjadi doxa. Berarti, jika ingin menerapkan model pendidikan multikultural ini, pembenahan yang dilakukan harus dari institusi pendidikan itu sendiri dong yah?
    Terima kasih sharing ilmunya Ken

    Like

  5. ‘Pendidikan multikultural diharapkan dapat membantu mengatasi konflik-konflik masyarakat yang berkenaan dengan isu SARA, khususnya di Indonesia.’ Saya mengutip secuil pernyataan dalam artikel di atas. Memang secara teoritis pendidikan multikultural diharapkan bisa mengatasi hal tersebut, tetapi bagaimana jika dilihat secara praktik? Perangkat kurikulum pendidikan multikultural memang telah disiapkan, namun jika para pelaksana tugas (guru/dosen) tidak menjalankan sesuai Standar Operasional Prosedur, maka akan menjadi hal yang percuma. Selain itu, kita perlu mengkaji kondisi masyarakat kita, apakah masyarakat kita sudah siap dengan pelaksanaan dari kurikulum berbasis multikultural?, mengingat masyarakat kita rawan ‘bersumbu pendek’, ketika bersinggungan dengan isu-isu SARA. Perlu kiranya kita menyampaikan paparan sampai pada tahap praktik, agar kita bisa melihat realita di lapangan dengan lebih jernih.
    #041, #SIK041

    Like

  6. Setuju dengan argumen mu bahwasannya untuk membuat representasi yang berbau diskriminasi gender, ras atau agama tidak memerlukan naungan institusi yang besar karena seseorang yang dianggap berpengaruh, berkuasa, atau dipercayai oleh orang lainpun dapat dijadikan acuan dalam merepresentasikan sesuatu.
    Nah, contohnya kasus seorang guru di Purbalingga yang memberikan soal kepada muridnya seperti ini:
    Ditanyakan: “Siapakah nama calon Gubernur Jakarta yang melecehkan Al-Quran saat ini?” Jawaban : a. Paijo b. Ahik c. Ken Arok d. Basuki (ahok).
    😀

    Like

Leave a comment