Women’s Body Perfection : Natural Beauty

Seperti yang telah kita ketahui, media punya peranan penting dalam mengonstruksikan situasi ideal terhadap sesuatu, termasuk gambaran tubuh sempurna laki-laki dan perempuan. Standar kecantikan perempuan sendiri telah berubah dari masa ke masa, misalnya di zaman tertentu perempuan berisi dianggap paling cantik, dan di zaman yang lain justru menjadi sangat kontras dimana perempuan yang sangat kuruslah yang dianggap paling cantik. Hal ini menunjukkan bahwa kecantikan bukan sebuah ukuran yang absolut, karena senantiasa berubah mengikuti “tren” yang diciptakan oleh media.

Kemunculan media sosial, oleh Kendyl Klein dalam tulisannya yang berjudul Why Don’t I Look Like Her? The Impact of Social Media on Female Body Image dipandang sebagai salah satu alasan penyebab terjadinya ketidak puasan terhadap bentuk tubuh diri sendiri di kalangan perempuan khususnya mahasiswi. Hal ini disebabkan karena media sosial telah memberikan para perempuan keleluasaan untuk mengakses foto-foto kerabat, sahabat, bahkan selebriti seluruh dunia melalui cara yang paling mudah. Berkembang dan meluasnya sosial media menyebabkan kemudahan pula bagi setiap perempuan untuk membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain (p.85).

Sesungguhnya memang tidak hanya sosial media saja, karena jauh sebelum sosial media muncul ketidak puasan akan tubuh diri sendiri dan membandingkannya dengan orang lain sudah dialami oleh perempuan, khususnya berdasarkan stereotipe yang ditampilkan dalam industri periklanan hingga interaksi interpersonal dengan orang sekitar. Namun, semakin kesini entah mengapa “ukuran” model di periklanan dan di runway secara ekstrem semakin mengecil, dan menimbulkan fenomena anoreksia hingga bullimia di kalangan remaja. Tips-tips diet mulai menjamur, dimulai dari diet karbo, diet mayo dan entah diet apalagi, secara aktif dipublikasikan di sosial media dan diterapkan oleh para perempuan demi mendapatkan bentuk badan yang diidamkannya.

Sosial media menurut Klein (p.86) digambarkan punya efek yang sama bahkan lebih kuat dibandingkan dengan sistem periklanan yang tradisional. Mengapa demikian? Hal tersebut disebabkan karena pengiklan di sosial media adalah kerabat, sahabat, dan kolega kita sendiri yang kita kenal secara pribadi sehingga terasa lebih riil dan terpercaya. Mungkin, logika inilah yang dimanfaatkan oleh para pengiklan di sosial media khususnya di Instagram dengan sistem endorsement.

Sejalan dengan teori Uses and Gratification, sosial media memiliki impact yang negatif terhadap perempuan yang sejak awal sudah rentan terhadap isu body image mereka, dan lebih mudah terpapar secara negatif pesan-pesan yang secara implisit dikemukakan dalam sosial media. Mereka akan merasa tidak puas dengan bentuk tubuh mereka dan melakukan beragam macam usaha untuk mengubahnya, dimulai dari diet hingga operasi plastik sebagai jalan pintas. Sulam alis, sulam bibir dan lip filler menjadi sesuatu yang biasa dikalangan remaja perempuan. Menjamurnya aplikasi editing di handphone kita semua pun menunjukkan bahwa kecantikan bisa dimanipulasi, dan yang alami tidak selalu sempurna.

Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Klein adalah selain mencoba tidak terlalu sering menggunakan sosial media (karena Klein sendiri dikatakan pernah mengalami hal yang sama sebelumnya dan semua berhenti setelah ia memutuskan meninggalkan sosial media), adalah bahwa para perempuan harus berani angkat suara dalam mengampanyekan kecantikan yang natural, apa adanya. Mencegah dirinya dan teman-temannya berinteraksi sekaligus menyebarkan pesan yang bersifat negatif, terutama berkenaan dengan isu bentuk tubuh ideal.

Namun, sebuah sisi yang sepertinya oleh Klein tidak dikemukakan disini, dan menurut saya merupakan sesuatu yang sama berpengaruhnya dengan sosial media adalah literasi mengenai natural beauty kepada lingkungan, kesemuanya tanpa terkecuali, baik laki-laki maupun perempuan. Mungkin, terutama laki-laki. Karena, laki-laki merupakan salah satu alasan bagi seorang perempuan untuk berubah. Jika seorang perempuan meninggalkan aktivitasnya di sosial media, namun dari pihak laki-laki masih aktif mengonsumsi media yang menampilkan selebriti dengan tubuh menawan, bukan tidak mungkin ia akan memaksa baik secara langsung maupun tersirat kepada perempuan untuk berpenampilan serupa.

 

Referensi :

Klein, Kendyl M. (2013). “Why Don’t I Look Like Her? The Impact of Social Media on Female Body Image”. CMC Senior Theses.

5 thoughts on “Women’s Body Perfection : Natural Beauty”

  1. Terkait dengan argumen mu diatas bahwa laki-laki yang cenderung aktif mengonsumsi media yang menampilkan selebriti dengan tubuh menawan, mampu menimbulkan efek yakni memaksa baik secara langsung maupun tersirat kepada perempuan atau pasangannya untuk berpenampilan serupa, ini mengingatkan ku pada sebuah artikel ken, yakni tentang sebuah studi yang dipublikasikan dalam Cyberpsychology, Behaviour, and Social Networking yang didalamnya terdapat point yang mengatakan bagaimana laki-laki yang lebih aktif di sosial media memiliki kecenderungan untuk berselingkuh lebih tinggi.

    Mungkin hal ini disebabkan karena konsumsi media yang berlebih yang mana di dalam media tersebut perempuan mayoritas dikonstruksikan sebagai sosok yang “sempurna” dan hal itu tidak dapat dia temukan di pasangan, jadi dia terus mencoba mencari “kesempurnaan” yang di presentasikan oleh media melalui berselingkuh ya ken? 😀

    Sumber: https://www.google.co.id/amp/sumsel.tribunnews.com/amp/2016/10/28/jangan-jatuh-cinta-dengan-pria-yang-aktif-di-media-sosial

    Like

  2. Sejalan dengan Keni, di sini memang dampak media sosial lebih dahsyat dibandingkan model-model dari industri periklanan, karena di media sosial kita melihat teman-teman dan kerabat kita sendiri. Ini membuat kita jadi lebih gampang minder dan berpikir “tuh dia aja bisa kayak gitu, kok kita enggak”. Perbandingannya jadi lingkungan teman-teman kita sendiri. Makanya diet-diet macem-macem jadi laku banget, soalnya orang berlomba-lomba supaya punya bentuk tubuh ideal. Padahal ideal sendiri itu belum tentu realistis, tapi di-idealisasikan. Awalnya ya dari tren-tren yang dibuat oleh iklan.

    Like

  3. berhubungan dengan pembahasan sebelumnya, konstruksi media, khususnya dengan adanya media sosial, standar “kecantikan” mulai berubah sesuai dengan budaya populer yang ada. kecantikan tidak hanya dilihat secara langsung, tapi juga berdasarkan besar like dan comment yang diberikan dalam media sosialnya. like kemudian menjadi “dewa” khususnya bagi para public figure.
    Mirisnya, adanya standar ini juga memunculkan beragam pendapat dan semakin meningkatkan bullying. ketika tidak suka dengan seseorang, bahkan itu public figure, mencemooh bahkan mem-bully menjadi hal biasa kemudian.

    Like

  4. Sepuasa-puasanya kita mengonsumsi media sosial, agaknya tetap ya internalisasi kecantikan- cara bagaimana kita mendefisikan cantik yang kita pahami itu sendiri yang akhirnya berpengaruh. Karena konstruksi cantik sudah merajalela di mana-mana, tidak hanya di media sosial, ataupun media massa, tapi juga sudah mengakar di masyarakat kita. Jadi agaknya tak terlalu besar imbasnya jika hanya mengubah perilaku konsumsi media sosial tanpa memperbaiki dulu persepsi kita akan cantik itu..

    Like

  5. Menarik membaca tulisan di atas, karena menginformasikan mengenai bahayanya media konvensional dan media sosial di dalam mengkampanyekan tubuh perempuan ideal di satu sisi, sementara di sisi lain menginformasikan tentang bagaimana caranya mencegah efek dari kampanye tersebut. Namun maaf, tulisan di atas masih sebatas konsep, sehingga memunculkan pertanyaan yakni apakah Mbak terkena dampak dari kampanye tubuh ideal tersebut?; jika iya, apakah solusi yang ditawarkan oleh Klein juga Mbak terapkan dalam kehidupan sehari-hari?, atau Mbak punya cara tersendiri dalam menyikapi hal ini, caranya seperti apa?; jika tidak terpengaruh, alasan apa yang mendasarinya?
    #041, #SIK041

    Like

Leave a comment