Myth : What’s beyond the ‘text’? (Don’t take everything for granted!)

Bicara mengenai mitos, yang terbayang dalam benak kita pastilah cerita-cerita rakyat yang mengandung unsur-unsur keajaiban di dalamnya, dengan melibatkan tokoh-tokoh supranatural dan dipercayai terjadi sebagai bagian dari sejarah. Tidak, tidak. Mitos yang dimaksud dalam tulisan saya kali ini jauh lebih kompleks dari sekadar cerita. Bagi saya pribadi, konsep mitos nampaknya menjadi penerang atas segala pertarungan pikiran yang selama ini menghantui saya. Ini, adalah sebuah bentuk upaya dalam mencari dan memahami jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai alam semesta, asal usul, batas hitam dan putih, toleransi, empati, dan lain-lain.

Saya belakangan ini sering sekali debat kusir mengenai beberapa hal dengan beberapa orang. Baiklah, istilah debat kusir mungkin terdengar berlebihan, namun ‘pembicaraan’ ini memang tidak pernah ada ujungnya. Saya ingat salah satu teman saya, dalam beberapa kali ‘pembicaraan hangat’ itu mengatakan bahwa saya memahami sesuatu terlalu secara literal, padahal dunia ini lebih kompleks daripada itu. Saya pikir sekarang, mungkin itu ada benarnya. Apa yang saya perdebatkan — betapapun saya ngeri menuliskannya disini (tapi saya akan coba memberanikan diri), mengingat ini isu yang sensitif — adalah sesuatu yang berkaitan dengan agama. Ya, agama. Saya ingatkan, jangan maknai tulisan saya sebagai usaha saya membolak-balikan cara pikir teman-teman, ya. karena saya mah apa atuh 😦 Ini sekadar sharing pikiran saya, dan kebetulan bahan bacaan minggu ini rasanya sedikit berkaitan dengan apa yang sedang menjadi pergolakan dalam batin saya sendiri.

Buku ini berjudul “Mythologies”, ditulis oleh Roland Barthes, seorang filsuf asal Prancis yang diterbitkan tahun 1972. Mitos bukan lagi sesederhana narasi yang melibatkan tokoh imajinatif dan supranatural dengan mengangkat cerita populer dalam fenomena sosial dan alam saja, melainkan merupakan bentuk komunikasi yang sarat ideologi dan etos-etos. Everything can be a myth. Seluruh aspek berupa tulisan, tuturan, maupun tindakan merupakan tanda yang istilahnya melampaui bahasa. Tayangan WWF misalnya, bukan hanya sekadar gulat biasa, pertunjukan pertarungan dimana ada adu kekuatan antar pemain, melainkan sebuah setting drama yang bahkan melibatkan penonton sebagai aktornya. Film Harry Potter bukan hanya kisah anak penyihir biasa, melainkan kumpulan simbol-simbol imperialisme Inggris, lambang kesedihan hati dan kehilangan serta ambisi manusia yang bisa membawa kejayaan atau kehancuran. Mitos ini sudah merambat ke ranah teknologi, tidak lagi hanya mulut ke mulut dan berupa cerita-cerita, melainkan bisa saja hadir dalam bentuk film, buku, iklan, bahkan musik. Apa yang disampaikan, dalam ‘teks’ yang tergambar pada media-media tersebut mengandung simbol-simbol yang maknanya tidak lagi ditafsirkan secara denotatif, namun secara konotatif.

Ini mengingatkan saya terhadap sebuah postingan menggelitik dari seorang ibu di Facebook pasca menonton film animasi Totoro beberapa minggu lalu. Kira-kira postingannya seperti berikut.

hipwee-ghibli5.jpg
Sumber

Saya termasuk yang membicarakan ini dengan nada — yah, mengejek. Reputasi Studio Ghibli sudah santer dimana-mana, kok bisa-bisanya ibu ini mengatakan film ini, istilah tersiratnya, film kelas rendah? Tudingan ibu ini “kurang piknik” dan lain-lain melintas di benak saya — yang kini saya malu pernah merasa begitu, karena saya sendiri bahkan belum pernah menonton film itu. Dan ketika saya menontonnya, reaksi saya : ini yang katanya film bagus? :’)

Ketika akhirnya saya memahami, interpretasi itu terjadi karena saya dan mungkin si ibu yang merasa tertipu itu, menerjemahkan film Totoro ini secara denotatif. Kisahnya sederhana sekali, dua anak perempuan yang bertemu makhluk supranatural di desa tempat mereka baru pindah, yang mana Ibu mereka sakit dan harus dirawat bertahun-tahun di rumah sakit. Tidak ada adegan mengharukan, menyedihkan, atau apapun yang membawa emosi ke puncak tertinggi membuat film ini memang jika dilihat begitu saja terasa membosankan. Yang baru saya pahami adalah, alasan yang membawa film ini menjadi film yang luar biasa ketika saya mencoba melihat simbol-simbol yang ditunjukkan dalam film tersebut, bahwa film Totoro jauh lebih dalam maknanya dari sekedar yang saya deskripsikan sebelumnya. Ada aspek sejarah, budaya, maupun ekonomi di dalamnya– yang tidak bisa dipahami tanpa latar belakang pengetahuan yang sesuai. Maka menjadi lumrah, bukan, jika ada yang menikmati dan ada yang tidak?

Jika dikembalikan kepada konteks agama yang saya perdebatkan akhir-akhir ini akhirnya memunculkan pertanyaan dalam diri saya : apakah benar saya terlalu menerima semua secara literal? Karena jika dipikirkan lagi, ada banyak sekali tanda-tanda dalam kisah Adam dan Hawa, misalnya, yang maknanya bisa diinterpretasikan lebih dari sekadar kisah dua manusia pertama diusir dari surga oleh Tuhan karena memakan buah apel. Coba lihat lukisan di bawah ini :

P-1947-LF-77-tif-10575
Lucas Cranach the Elder : Adam and Eve (1526)

Mitos ini bersifat historis dan politis. Dari lukisan ini bisa ditafsirkan apa adanya, dimana Hawa yang memberikan buah apel terlarang kepada Adam. Namun, lukisan ini juga bisa menggambarkan stereotipe perempuan sebagai “penggoda”, sebagai biang kehancuran. Dan bahkan jika ditelaah lebih jauh, apel itu bisa pula hanya merupakan kiasan, bukan apel secara literal namun sebuah nilai yang dilarang oleh agama. Akan tetapi, mitos telah menjadi ilusi kolektif yang diturunkan dari generasi ke generasi oleh manusia melalui berbagai medium, sehingga menjadi apa yang disebut oleh Marx “ideological apparatus“. Mitos diceritakan dengan gaya apa yang dipahami oleh si penutur, sehingga ini bukan merupakan refleksi dari dunia nyata melainkan representasi dunia nyata itu sendiri — mitos, betapapun dianggap bagian dari sejarah yang sifatnya alami dan objektif, sesungguhnya bukanlah sejarah sama sekali. Ada campur tangan pihak-pihak tertentu untuk membuatnya menjadi sebuah pagar ideologis.

Sehingga, timbul lagi pertanyaan dari diri saya. Jika kedua orang tua saya bukanlah penganut agama yang saya anut sekarang, akankah saya– dengan begitu yakin– menganut agama ini? Dan jika saya mencari jawabannya, saya tahu bahwa Tuhan telah menurunkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, dalam bentuk mitos juga. Sesungguhnya, mitos mengenai larangan mempertanyakan agama, bahwa agama jangan dilogikakan dan sebagainya menghantui saya seakan saya jadi ‘auto-murtad’. Tetapi toh, bukankah banyak sekali kata-kata dalam kitab suci ‘bagi kaum yang berpikir’, yang menandakan sebuah ayatpun memiliki makna sangat dalam walau terdengar sederhana? Lantas, mungkinkah mitos-mitos tadi dibuat sebagai aparatus ideologi, menstereotipekan bentuk muslim yang baik secara fisik adalah– maaf sekali jika sangat sensitif– punya bekas hitam di dahi, berjubah dan bersorban putih bersih dengan janggut panjang, atau berkhimar bahkan berniqab, dan di luar itu adalah muslim yang kurang salih dan harus banyak belajar? Sehingga, apapun yang saya lihat, apapun yang saya dengar, apapun yang saya baca, saya memutuskan untuk tidak menerimanya secara apa adanya. Trying to seeking what’s the meaning beyond the ‘text’, bukan untuk menjauhkan saya dari Tuhan, melainkan justru membuat saya lebih yakin, lebih tenang dan lebih nyaman terhadap apa yang saya yakini.

Sekali lagi, don’t take everything for granted. Termasuk tulisan saya ini! 🙂

Referensi

Barthes, R. (1972). Mythologies: Roland Barthes. New York: Hill and Wang.

5 thoughts on “Myth : What’s beyond the ‘text’? (Don’t take everything for granted!)”

  1. Menarik ya memang bicarakan mitos ini. Tapi yang paling berperan bisa jadi selain media yang “mengekalkan” kebenaran mitos – kita sebagai pembaca juga memiliki peran. Bagaimana kemudian ‘mitos’ yang ada dan tertanam kemudian berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Mitos tentang pria berjenggot misalnya, bagi saya misalnya mitos yang lekat pada periode tertentu bahkan tanpa saya sadari masih melekat sekalipun saya sudah muslim adalah “udik” dan “fanatik”. Hingga ketika saya bersuami pria berjanggut saya sempat meminta dia mencukur. Suami menjelaskan itu sunah dan saya jawab “iya tahu itu sunah, sunah bukan wajib bukan?” Malu sekali rasanya ketika saya sadari saya pernah “mengopresi” suami saya sendiri hanya karena saya merasa “malu” punya suami berjenggot dan tidak ingin suami saya terlihat aneh di tengah keluarga besar saya yang ada di Jakarta. Sama seperti belum lama selang suami ingin membeli gamis laki-laki spontan saya mencegah. “Dih ga aneh apa pakai gamis laki-laki kayak gitu di Jakarta?” Duh lagi-lagi saya terjebak pada makna konotatif – gamis pria..

    Like

  2. Bagian paling mendebarkan dari mitos bagiku adalah menelusuri, dari mana aku dapatkan mitos tersebut, seperti apa kejadiannya, mengapa mitos tersebut masih melekat dalam benak, bagaimana posisiku yang terdalam akan keberadaan mitos tersebut. Seperti sedang mengurai benang kusut yang selama ini diterima saja sebagai sebuah hal yang wajar dan biasa, namun ternyata di balik itu banyak hal yang terjadi. Dan tentu hal tersebut tidak akan didapat, kecuali dengan apa yang keni bilang, dengan berpikir. Kukira hal itu juga yang akan membuat kita lebih mengenali diri kita, hingga jauh masuk ke ruang-ruang gelap dalam diri kita yang selama ini mungkin tidak atau belum pernah kita sentuh. Jadi, mari kembali berpikir dan merefleksikan diri melalui tulisan. Nice share ken 🙂

    Like

  3. Seperti yang dituliskan bahwa lukisan Adam dan Hawa karya Lucas sebenarnya juga menggambarkan stereotipe perempuan sebagai “penggoda”, sebagai biang kehancuran. Dan bahkan apel itu bisa pula hanya merupakan kiasan, bukan apel secara literal namun sebuah nilai yang dilarang oleh agama. Akan tetapi, mitos telah menjadi ilusi kolektif yang diturunkan dari generasi ke generasi oleh manusia melalui berbagai medium”.
    Buktinya sampai saat ini pun dalam analisa semiotika misalnya apel sendiri telah diinterprestasikan sebagai lambat seksualitas, dosa, godaan dan lain sebagainya.

    Like

  4. Membaca review keni, berarti mitos itu mirip sama stereotype yah ken? Atau jangan-jangan bisa berbeda, karena ada kepentingan kelompok dominan di dalamnya?
    Btw mencoba menjawab pertanyaan mbak hani, kalau menurut aku mitos itu bisa melekat dalam benak kita karena dipengaruhi habitus yang kita jalani sehari-hari dalam lingkungan kita.

    Like

  5. Ada pernyataan yang menarik dalam tulisan di atas ‘sehingga, timbul lagi pertanyaan dari diri saya. Jika kedua orang tua saya bukanlah penganut agama yang saya anut sekarang, akankah saya–dengan begitu yakin–menganut agama ini?’ Saya anggap pernyataan tersebut sebagai hal yang menarik, karena agama dipahami sebagai warisan dari orangtua kita. Bila agama orangtuanya Islam, maka kemungkinan besar akan diturunkan ke anak-anaknya. Bila agama orangtuanya Katholik, maka kemungkinan besar juga akan diturunkan ke anak-anaknya, dan begitupula seterusnya. Oleh karena itu, sejatinya kita tidak perlu mengkritisi latar belakang agama orang lain yang berbeda keyakinan dengan kita, serta kita tidak perlu pula memaksakan keyakinan agama kita ke orang lain, karena keyakinan beragama itu sejatinya merupakan hak hakiki setiap warga negara, apalagi kita hidup di negara yang menganut ideologi Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, save NKRI!
    #041, #SIK041

    Like

Leave a reply to yuliyanto budi setiawany Cancel reply